CINTA TAK HARUS MEMILIKI
Tulisan kali ini tidak akan mencoba untuk menguak kasus yang dianggap tabu hingga layak untuk dibaca. Tulisan ini hanyalah serentetan pertanyaan yang terlintas serta mengusik ketenangan ku dan tak jarang ku perdebatkan bersama dengan teman – teman. Sehingga, Munculah ide dari alam pikirku terjun payung bergandengan tangan dengan hati, serta mendarat dengan kurang sempurna maklum masih belajar. Oke, kembali ke laptop. Menurutku, perasaan yang disebut cinta itu sebaiknya dipisahkan dengan perasaan ingin memiliki. Tapi bisa saja kita sedang meributkan konteks dan sintaks saja dalam masalah ini, karena bila menanyakan kepada seratus orang apa arti memiliki, maka jawabannya akan berbeda-beda pula.
Ada yang akan berkata bahwa memiliki adalah suatu keadaan dimana kita bertanggung jawab atas siapa atau apa yang dikatakan kita miliki tersebut. Suatu keadaan dimana kelangsungan hidup tersebut bergantung sepenuhnya kepada diri kita. Disini bisa kita lihat bahwa ada kaitannya dengan hubungan pernikahan dimana setelah menikah sang istri akan mengatakan, memiliki suami dan nantinya memiliki anak dan juga sebaliknya. Disitulah sang suami harus bertanggung jawab atas kelangsungan hidup istri beserta anak-anaknya.Untuk konteks cinta-cintaan yang ingin memiliki, sepertinya ada sebuah warna yang berbeda dari hubungan suami , istri dan ataupun berkeluarga. Memiliki dalam konsep asmara seakan lebih menuju pada kepemilikian dimana adalah menjadi hak si pemilik untuk ditemani, dimanjakan, diberi perhatian khusus dan ekslusif oleh sang pacar tersebut. Kepemilikan disini bergeser fungsinya menjadi sebuah hak dan bukan lagi kewajiban yang perlu dipertanggung jawabkan. Sehingga kadang terdengar jeritan hati yang kadang diamplifikasi oleh mulut yang tak sabaran, “Kamu kan udah jadi pacar aku, kok masih ngobrol sama monyet monyet itu?mag ma aku apa masih kurang atau dah jenuh ma aku?”.
Bila ditelaah lebih lanjut dari arti cinta sesungguhnya, cinta yang memberi, maka konsep kepemilikan yang lebih pas tentunya kepemilikan yang pertama tadi. Kepemilikan yang bertanggung jawab, yang dikarenakan memiliki, hingga memberikan yang terbaik bagi yang sudah dimiliki. Cinta yang memberi tidak akan menuntut hak-haknya, karena memang cinta tidak akan memaksa dan dipaksa semua berjalan dengan sendirinya seiring senada dalam kasih sayang serta perhatian.Tentunya dalam kehidupan nyata, hak dan kewajiban lebih sering berjalan bersama sehingga akan terjadi simbiosisme mutualisme antara pemiliki dan yang dikatakan dimiliki tersebut. Benarkah itu cinta namanya? Atau sudah sekedar menjadi barter emosi dan jasa versi sekarang saja? Mungkin perlu dipikirkan, saat kita berbuat baik atas nama cinta kepada seseorang yang katanya kita miliki, apa benar kita masih pamrih? Atau justru akan datang saatnya dimana kita akan berdiri dan berkata ‘Sudah kulakukan itu semua, dianya tak pernah melakukan apa-apa. Aku muak. Sudah cukup sampai disini.’ Bila memang masih pada tahap pacaran, ya oke - oke sajalah untuk memutuskan cukup sampai disitu saja kelanjutan derita yang didera tersebut. Lalu bagaimana halnya dengan yang sudah menikah? Apa masih mungkin berkata demikian?
Bagaimana dengan yang masih pada masa pendekatan dan belum jadian? Apakah sah hukumnya untuk ngebet ‘memiliki dan dimiliki’ dengan modal cinta yang membara? Mengejar sampai ke ujung samudra walau ada sekian banyak rintangan yang jelas-jelas mengatakan bahwa “hey, pikirkan seribu kali lagi deh untuk menyerahkan hatimu padanya”. Sah atau tidaknya hanya si pelaku yang bisa menilai sendiri. Mungkin bila pertanyaannya dikembalikan, “Setelah dimiliki, akan kauapakan dia itu? Apakah akan kau jadikan hak milik? Ataukah kau banjiri dengan cinta hingga ia penuh kasih dan cinta?” Dan pertanyaan lalu berlanjut lagi ke pemikiran bahwa bila memang dari awalnya kita sudah berkehendak untuk membanjiri dia dengan cinta, rasanya menjadi tidak relevan lagi apabila si pacar tersebut adalah milik kita atau bukan. Atau justru cinta itu akan berhenti mengalir saat si penerima tak lagi mau menjadi “milik” kita? Lihatlah ke dalam dan jawablah apakah benar itu yang namanya cinta?coba kita bertanya pada hamparan padi yang menghijau dan telah hampir menguning disana.
Ada yang akan berkata bahwa memiliki adalah suatu keadaan dimana kita bertanggung jawab atas siapa atau apa yang dikatakan kita miliki tersebut. Suatu keadaan dimana kelangsungan hidup tersebut bergantung sepenuhnya kepada diri kita. Disini bisa kita lihat bahwa ada kaitannya dengan hubungan pernikahan dimana setelah menikah sang istri akan mengatakan, memiliki suami dan nantinya memiliki anak dan juga sebaliknya. Disitulah sang suami harus bertanggung jawab atas kelangsungan hidup istri beserta anak-anaknya.Untuk konteks cinta-cintaan yang ingin memiliki, sepertinya ada sebuah warna yang berbeda dari hubungan suami , istri dan ataupun berkeluarga. Memiliki dalam konsep asmara seakan lebih menuju pada kepemilikian dimana adalah menjadi hak si pemilik untuk ditemani, dimanjakan, diberi perhatian khusus dan ekslusif oleh sang pacar tersebut. Kepemilikan disini bergeser fungsinya menjadi sebuah hak dan bukan lagi kewajiban yang perlu dipertanggung jawabkan. Sehingga kadang terdengar jeritan hati yang kadang diamplifikasi oleh mulut yang tak sabaran, “Kamu kan udah jadi pacar aku, kok masih ngobrol sama monyet monyet itu?mag ma aku apa masih kurang atau dah jenuh ma aku?”.
Bila ditelaah lebih lanjut dari arti cinta sesungguhnya, cinta yang memberi, maka konsep kepemilikan yang lebih pas tentunya kepemilikan yang pertama tadi. Kepemilikan yang bertanggung jawab, yang dikarenakan memiliki, hingga memberikan yang terbaik bagi yang sudah dimiliki. Cinta yang memberi tidak akan menuntut hak-haknya, karena memang cinta tidak akan memaksa dan dipaksa semua berjalan dengan sendirinya seiring senada dalam kasih sayang serta perhatian.Tentunya dalam kehidupan nyata, hak dan kewajiban lebih sering berjalan bersama sehingga akan terjadi simbiosisme mutualisme antara pemiliki dan yang dikatakan dimiliki tersebut. Benarkah itu cinta namanya? Atau sudah sekedar menjadi barter emosi dan jasa versi sekarang saja? Mungkin perlu dipikirkan, saat kita berbuat baik atas nama cinta kepada seseorang yang katanya kita miliki, apa benar kita masih pamrih? Atau justru akan datang saatnya dimana kita akan berdiri dan berkata ‘Sudah kulakukan itu semua, dianya tak pernah melakukan apa-apa. Aku muak. Sudah cukup sampai disini.’ Bila memang masih pada tahap pacaran, ya oke - oke sajalah untuk memutuskan cukup sampai disitu saja kelanjutan derita yang didera tersebut. Lalu bagaimana halnya dengan yang sudah menikah? Apa masih mungkin berkata demikian?
Bagaimana dengan yang masih pada masa pendekatan dan belum jadian? Apakah sah hukumnya untuk ngebet ‘memiliki dan dimiliki’ dengan modal cinta yang membara? Mengejar sampai ke ujung samudra walau ada sekian banyak rintangan yang jelas-jelas mengatakan bahwa “hey, pikirkan seribu kali lagi deh untuk menyerahkan hatimu padanya”. Sah atau tidaknya hanya si pelaku yang bisa menilai sendiri. Mungkin bila pertanyaannya dikembalikan, “Setelah dimiliki, akan kauapakan dia itu? Apakah akan kau jadikan hak milik? Ataukah kau banjiri dengan cinta hingga ia penuh kasih dan cinta?” Dan pertanyaan lalu berlanjut lagi ke pemikiran bahwa bila memang dari awalnya kita sudah berkehendak untuk membanjiri dia dengan cinta, rasanya menjadi tidak relevan lagi apabila si pacar tersebut adalah milik kita atau bukan. Atau justru cinta itu akan berhenti mengalir saat si penerima tak lagi mau menjadi “milik” kita? Lihatlah ke dalam dan jawablah apakah benar itu yang namanya cinta?coba kita bertanya pada hamparan padi yang menghijau dan telah hampir menguning disana.
Komentar